“kata mama kalau aku sudah berumur 17 tahun, akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih daripada ditahun tahun sebelumnya, kau tahu?” aku mengatakan apa yang dikatakan mamaku kemarin, lalu ia menatapku dengan bingung, “aku tak begitu mengerti, kebahagiaan yang seperti apa?” aku senang dia bertanya, lalu aku menjawab “aku tidak tahu, makanya aku tak sabar menunggu 10 tahun lagi”,
“kalau begitu aku akan memberikan hadiah terindah saat kau berumur tujuh belas tahun nanti”
aku sangat senang mendengarnya dan tanpa sadar aku berdiri kehadapannya, “benarkah begitu? Kalau begitu aku juga akan memberimu hadiah saat kau juga berumur 17 tahun seperti aku, janji ya”,
“iya,nanti kita akan bertemu lagi disini untuk memberikan hadiah masing masing ya”. Aku takkan lupa janji itu, dimana aku melilitkan kelingkingku dengan kelingkingnya, dibawah pohon apel dibelakang rumahku.
****
Tok tok tok, terdengar seperti seorang monster sedang menggedor gedor pintu, “Opi! Opi! Cepat bangun, Ian sudah datang menjemput!” “iya, ma! Sebentar lagi” aku sedang berdandan untuk pergi kesekolah, melilitkan dasi dileher membutuhkan waktu yang cukup lama bagiku karena aku tak terlalu hafal caranya, lalu aku berlari terburu buru menuruni tangga dan keluar rumah. Disana berdiri sosok anak laki laki egois yang sangat familiar dimataku “lama amat sih, kalo gini bisa telat nih” aku hanya memasang senyum kelelahan padanya dan mulai berjalan membuntutinya dari belakang menuju sekolah.
Semalam aku tidur sangat malam karena aku harus kerja paruh waktu hingga malam, kerjaku adalah memainkan piano kesatu kafe ke kafe lain, sejak kecil aku sangat mahir memainkan piano dan aku cukup percaya diri dengan bakatku, honor yang kuterima juga cukup besar, jadi tak ada salahnya kan. Mamaku sangat mengkhawatirkanku yang terus bekerja hingga malam, aku sudah bilang berkali kali tak perlu khawatir karena aku ingin berusaha sendiri dan semua akan baik baik saja.
Tujuanku bekerja paruh waktu hingga malam karena ingin memberikan hadiah ulang tahun ke 17 sahabatku, Ian. Aku ingin memberikannya biola yang cukup mahal karena Ian sangat mahir main biola, kalau biolanya bagus pasti lagunya akan tambah bagus. Pasti ia akan sangat bahagia karena sudah lama ia menginginka biola itu. Aku takkan lupa janji 9 tahun yang lalu, pasti Ian juga memikirkannya, apa yang akan Ian berikan untukku ya?
“ciiie ciiie, suami istri datang kesekolah berdua lagi nih, romatiiiis bangeet” “kenapa kalian gak jadian aja? Kan cocok”, “kalo jadian jangan lupa traktir ya”, rayuan rayuan menyebalkan barusan datang dari beberapa teman sekelasku, karena aku dan Ian sangat dekat dan sering terlihat bersama, kami digosipkan begini. Sejujurnya aku agak senang mendengarnya, karena sepertinya aku mempunyai sedikit perasaan padanya, wajahku tiba tiba memerah dan berkata, “apaan sih kalian ini? Kami gak ada hubungan apa apa tahu”. Sesaat bilang begitu aku menoleh kearah Ian, wajahnya biasa saja dan tak ada tanda tanda salah tingkah sedikitpun, aku tahu Ian cuma menganggapku sebagai teman, padahal dulu dia begitu lucu.
“aduh aku gak tahu jawabannya nih” kepalaku sangat sakit melihat soal soal matematika yang tak dapat kujawab, dari dulu aku memang tak begitu pintar, masuk sepuluh besar saja hanya untung untungan, saat menghela nafas aku mendengar Ian memanggilku. “ssst, Opi, Opi!” spontan aku menoleh kearahnya dan ia berbisik “ini jawaban nomor satu sampai lima, jangan sampai ketahuan guru, ya” bisiknya sambil memberikan kertas contekan. Ian memang sangat pintar, juara satu berturut turut dari SD, sangat jauh dibandingkan aku. “makasih banget ya, nanti aku masakin kue coklat deh”
Bel pulang sekolah sudah berbunyi, dan saatnya pergi dari penjara itu. “nggak pergi, nggak pulang, kamu ini selalu telat ya” Ian masih mengomel ngomel seperti biasanya, “iya iya, aku lagi masukin buku nih, lumayan banyak” tak lama setelah itu muncul teman Ian dan berkata “tadi pertandingannya hebat banget lho, berhasil cetak 4 gol berturut turut, hebat banget kamu!”
“oh makasih”
Ian hanya garuk garuk kepala dan sedikit malu malu. Aku tersenyum mendengarnya, Ian anak yang pintar, jago olahraga dan pintar main biola tak hanya itu wajahnya juga lumayan, diatas rata rata wajah cowok biasanya,saat aku jalan berdua dengannya, cukup banyak para gadis lain yang memelototiku, aku merasa sangat cocok padanya, karena kami berdua sama sama pencinta musik.
“sore nanti kerumahku ya Opi, aku sudah punya lagu yang kuciptakan sendiri” “ya tentu!”. Saat sampai dirumah aku tak sabar menunggunya, mencoba coba baju baju yang cocok kupakai kesana. Mamaku hanya menghela nafas dan berkata “kamu itu sebenarnya mau kemana sih? Pakai itu, pakai ini, pusing mama” “Cuma kerumah Ian kok ma, meskipun hanya sebelah sini aku kan cuma ingin tampil sedikit bagus, apa salahnya?” sekali lagi mama menghela nafas dan pergi meninggalkan kamarku, “kalau kamu lapar, tinggal turun kebawah makanan sudah siap”
“wah sudah datang, duduk duduk, dengerin ya” aku hanya menatapnya yang sedang bermain biola dengan mempesona, kalau ia sedang bermain biola ia terlihat 100 kali lebih tampan dari biasanya, bagaikan seorang utusan Tuhan yang datang dari langit untukku, aku tak akan pernah bosan meskipun lebih dari 2 jam hanya menatap wajahnya, sekarang aku benar benar menyadari kalau aku mencintainya. “bagus kan? Aku amat percaya diri, lho. Baik, satu lagu lagi” tak lama setelah itu, salah satu senar biolanya putus dan jarinya terluka. “ah! Kau tak apa apa, Ian?” “tak apa, Cuma tergores sedikit, tolong ambilkan kotak obat” aku membalut jarinya yang terluka dengan plester, wajahnya tampak sedih, tak lama kemudian ia berkata, “biola usang ini pemberian ayahku saat aku berumur 6 tahun, aku sangat menyayanginya. Aku sangat sedih mendengarnya, tapi tak lama ini kau akan mendapatkan biola dariku yang akan kau sayangi, aku mengatakannya dalam hati.
Hari demi hari berlalu, dan saat ini aku sudah kelas 3 SMA. Masa masa yang sulit dimana kita harus benar benar memikirkan sesuatu kedepan, apa yang akan kita lakukan dan sebagainya. Karena aku mencintai Ian, aku ingin tahu apa cita citanya “Ian, kalau nanti kau mau jadi apa?” dia terlihat acuh tak acuh menjawabnya, “aku? Mungkin dokter atau dosen”“begitu ya” pikirku, lalu aku dengan senang berkata “kalau aku ingin berada disebuah panggung mewah dan memainkan piano terbaikku, lalu diakui sebagai pianis internasional” “hmmm” aku kecewa mendengarnya, Ian hanya menjawab ‘hmmm’, mungkin dari awal ia memang tak perduli padaku.
Saat jam makan siang disekolah tiba, Ian duduk disampingku dan makan dengan lahapnya, meskipun aku sudah terbiasa, tapi tiap hari debaran hatiku makin kencang bila berada didekatnya. Karena aku selalu memperhatikannya, aku tahu dari tadi ia melihat ketempat lain. “kau lihat apa?” sadar aku tengah memperhatikannya, ia tersipu malu, “aku lihat cewek cantik disana” mendengarnya aku tersentak kaget, “apa!? Yang mana?” “itu, cewek yang duduk dekat teman temannya itu, yang pakai kuncit pita” spontan aku langsung mencari dimana posisi gadis itu, aku melihat gadis yang amat cantik, wajahnya begitu putih dan tubuhnya bagus. “kau suka cewek itu?” “iya” katanya tersipu malu.
Aku hanya bisa menatap wajahku dicermin kamarku saat ini, aku melihat seorang gadis yang berkulit agak hitam dan sedikit gendut, wajah yang berjerawat dan rambut yang selalu acak acakan, kalau dibandingkan dengan gadis yang disukai Ian tadi, sangat jauh berbeda, jauh berbeda, seperti angsa putih dan itik buruk rupa. Aku tak tahu apa perasaanku saat ini, mungkin patah hati, sedih sekali. Padahal kukira Ian juga mencintaiku, ternyata ia hanya menganggapku teman dan mencintai gadis cantik lain, aku sangat bodoh terlalu percaya diri, padahal sebenarnya memang aku tak pantas untuk Ian.
Tiga hari aku menyelidiki tentang gadis itu, ternyata namanya Viona, namanya saja sudah jauh lebih bagus dari namaku, dari SMP ia juara 1 sampai sekarang, kapten cheers disekolah dan banyak digemari para lelaki. Mungkin ia yang lebih cocok untuk Ian yang begitu sempurna. Tak terasa air mataku menetes, perasaan ku saat ini sangat hancur, sakit dibagian dada. Benarkah ini yang namanya patah hati? Ternyata cinta itu begitu menyedihkan.
“hei, kok akhir akhir ini wajahmu murung sih, tambah jelek tuh” Ian menyapaku, tapi aku tak begitu senang, “tak apa” aku sangat berharap setelah ini ia akan menghiburku, tapi ternyata tidak. “oh iya, Pi. Kamu inget kan cewek yang aku tunjuk waktu itu? Aku kepingin nyapa dia nih, gimana caranya” aku sangat jengkel mendengarnya, “ya sapa aja gitu, gitu aja kok susah” “kok kamu sekarang gitu sih, payah ah” Ian berbalik badan dan pergi menelusuri koridor, aku hanya menatapnya dan menahan agar mata ini tak menetes lagi.
Besok adalah hari ulang tahun kami berdua yang ke tujuh belas, kami memang lahir disaat yang sama, kebetulan yang menyenangkan. Saatnya untuk memberikan kado terindah sesuai janji, tapi dengan keadaan begini aku tak tahu bisa memberikannya atau tidak, semakin lama aku semakin sering melihat Ian memperhatikan gadis itu, itu sangat membuatku sakit. Meskipun begitu, aku tak boleh ingkar janji, aku sudah membelikan biola mahal untuknya dari hasil kerja paruh waktuku selama 4 tahun, besok akan kuhadiahkan padanya.
Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan apa reaksi Ian menerima hadiah dariku ini, meskipun selama ini kami tak pernah ungkit ungkit lagi tentang janji itu, aku yakin ia takkan pernah lupa. Apa yang akan dia hadiahkan padaku? Pertanyaan itu selalu terngiang ngiang di kepalaku. Kalau sedang bingung aku selalu bermain piano, memainkan lagu lagu dari musisi favoritku, karena rumah aku dan Ian berseblahan, aku ingin ia mendengarnya. Agar ia tak lupa kalau besok adalah hari ulang tahunku.
Sepulang sekolah aku membungkus biola itu dengan rapi, dengan bungkus kado berwarna coklat, warna kesukaannya, dengan harapan ia sangat senang menerimanya. Setelah semua selesai, aku berlari kehalaman belakang rumahku, di bawah pohon apel tempat dimana terselenggaranya janji penting itu. Rumahku tak punya pagar, jadi Ian bisa masuk kapan saja kehalamanku. Namun disana tak ada siapapun, hanya aku. Mungkin Ian sedang bersiap siap, lalu aku menunggu tanpa beranjak kemana mana, sudah lebih dari 2 jam aku menunggu, hari hampir gelap. Perasaanku amat kecewa saat itu, pasti Ian sudah lupa akan janji penting itu.
Meskipun ia tak menepati janji, aku tetap pergi kerumahnya agar aku yang akan menepati janji. Aku mengetok pintu berkali kali, dan muncullah Ian. “ada apa?” secepatnya aku menyembunyikkan bungkusan biola kebelakang tubuhku. “a..anu, aku..” aku sangat gugup mengatakannya, karena saat ini Ian agak lain, wajahnya terlihat lebih garang seperti biasanya. “kalau tak ada urusan apa apa, pergi sana” aku tersontak kaget mendengarnya, tak lama kemudian ia bicara lagi, “tadi aku ditolak Viona, katanya aku tak pantas untuknya, aku sekarang lagi bad mood tak mau ketemu siapa siapa dulu”
Dengan cepat aku langsung berkata, “ini hadiah untukmu, hadiah terindah yang merupakan janji kita dulu, aku takkan lupa” Ian menatapku, lalu melempar hadiah itu lebih dari 3 meter kedepan dan berteriak “aku tak butuh itu! Aku tak butuh hadiah dari janji konyol itu! Sekarang yang kubutuhkan hanya cinta dari Viona!” aku sangat kaget, sedih, marah dan bercampur jadi satu, hadiah itu adalah hasil dari jeri payahku, tanpa sadar menangis dihadapannya, “kenapa kau seperti ini? Padahal aku sudah berusaha, aku tak akan mengecewakanmu, tapi ini balasanmu, maaf aku sudah salah menilaimu” aku berlari menuju rumah dan membanting pintu, menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk menangis.
Besoknya aku bangun jauh lebih pagi agar tak ketemu Ian, dikelas aku tak mau melihatnya lagi, lalu saat makan siang aku sengaja makan siang dihalaman belakang sekolah, semua itu kulakukan agar tak bertemu Ian, aku sudah membencinya, tak mau menganggapnya teman lagi, kupikir Ian juga akan berpikir begitu padaku. Hal hal yang kulakukan sangat tak menyenangkan, hatiku masih sangat sakit kalau mengingat kejadian kemarin.
Home dalam facebookku hampir semua dipenuhi oleh statusnya mengenai Viona, katanya Viona masih memberinya harapan. Aku merasa sangat jengkel melihatnya, segera kuputuskan kabel koneksinya dan pergi tidur, tiba tiba aku mendengar suara seperti orang sedang marah marah, aku menyadari bahwa itu adalah suara Ian, segera kubuka jendela dan melihatnya. Ternyata ia sedang marah marah ditelepon, “kau bilang kau memberiku harapan? Kenapa ini yang kau lakukan padaku!?” aku mengetahui kalau ia sedang menelepon Viona, mereka sedang bertengkar, aku tahu Ian tak akan diterima oleh Viona.
Aku sedikit kasihan padanya, sejak kecil Ian cengeng, penakut dan egois. Dengan sifat kekanakkan itu aku yakin ia tak akan bisa melewati cintanya yang begitu rumit, meskipun aku masih sangat kesal padanya tapi aku ingin memainkan lagu dengan pianoku, lagu untuk menghiburnya. Segera kumainkan piano dan kubuka jendela lebar lebar agar ia bisa melihatku, aku tahu Ian pasti menyadari kalau aku sedang menghibur dirinya, karena aku sudah menceritakan arti lagu ini. Aku menangis sambil bermain piano, entah sedih atau senang, tapi mungkin aku senang, meskipun aku bukan untuknya, aku tetap akan membuatnya bahagia dan tak akan mengecewakannya karena aku masih mencintainya meskipun ia sudah kasar padaku.
Sudah lebih dari 1 jam aku memainkan lagu itu, aku tak peduli ia mendengarnya atau tidak, yang penting aku akan terus ada untuknya. Tak lama setelah itu aku mendengar suara bel rumahku berbunyi, dengan cepat aku membuka pintu, ternyata Ian. Aku tersontak kaget, dan tak bisa menatap wajahnya. “maafkan aku” aku melihat wajahnya dan ia berkata lagi, “maafkan aku sudah kasar padamu, maafkan aku tak menepati janji, maafkan aku sudah membuatmu menangis,aku sangat menyukai biola yang kau beli, aku sangat senang kau memberikannya padaku, tapi aku sangat bodoh karena tak menyadari kalau kau selalu ada untukku, kau yang paling mengerti aku, dan kau yang sudah membuatku bahagia selama ini, sekali lagi maafkan aku, aku memang patut kau benci, aku memang lelaki menyedihkan” setelah berkata begitu Ian menangis, aku juga menangis.
“tak apa, aku sangat senang kau sudah minta maaf, hapus air matamu, lelaki tak seharusnya menangis” ia menghapus air matanya dan berkata “aku akan menepati janji, sekarang ganti bajumu yang bagus” “apa?” “sudahlah ganti saja, cepat ya aku menunggu disini” aku tak mengerti apa yang ia katakan, segera aku berganti baju dan ia menutup mataku dengan kain, setelahnya aku mulai membuka mata. Aku berada diatas panggung dimana banyak orang berkumpul, “apa ini?” “kau ingin jadi pianis terkenal kan? Bermainlah disini, aku yakin bisa” “apa?” aku sangat gugup karena tak pernah bermain piano didepan orang sebanyak ini.
Aku hanya melakukan yang terbaik, bermain sebisaku sampai lagu selesai, aku sangat lega ketika selesai, keringat dingin dari tubuhku bercucuran, tapi tak lama setelah itu tepuk tangan para penonton yang meriah membuatku sangat bangga, lalu sang juri mulai berbicara, “permainan yang bagus untuk pemula seperti kau, malam ini kau yang jadi juaranya, ini langkah pertamamu untuk menuju internasional” aku sangat senang setengah mati mendengarnya, hampir menangis terharu, lalu Ian muncul dari balik panggung dan berkata “ini hadiah untukmu yang sudah kujanjikkan, nikmatilah”
Malam sudah mulai larut, aku dan Ian tetap memandang langit bersama dengan perasaan lega, ia mulai membuka bungkus biola baru dariku dan memainkan lagu itu lagi, lagu baru yang diciptakannya, jauh lebih bagus dari kemarin. “kau tahu, waktu itu aku belum memberi lagu ini judul, tapi sekarang aku sudah tahu judulnya, ‘love song’ karena lagu ini hanya kumainkan dihadapanmu, aku mencintaimu Opi” aku tersenyum lega mendengarnya dan berkata “aku juga mencintaimu”. Sekarang aku tahu kebahagiaan yang datang pada umur 17 tahun, yang lebih manis dari tahun tahun sebelumnya, yaitu cinta.