Juliana menghela nafas perlahan
sambil membuka kaitan jendela satu demi satu dan mendorong kaca dengan
tangannya yang halus berwarna putih pucat, tampak pemandangan malam sunyi sepi
yang berbanding terbalik dengan suasana didalam istana, aliran rembulan yang
menghunus diantara celah celah pohon elm raksasa terpatri jelas didanau
‘takdir’, patung nenek Elma dan paman Jacob yang berdiri tegak ditengah kebun
bunga mawar yang membentuk labirin tampak hidup dan memainkan peran mereka
kembali sebagai ratu dan penyelamat istana, meskipun Juliana cukup mengetahui
tentang sosok dua orang yang sudah lama
gugur ini, ia memutuskan untuk tidak memikirkan mereka malam ini karena ada
sesuatu yang mengganjal dihatinya, perasaan yang sesak dan takut yang amat
mendalam dari dasar hatinya, angin malam yang teramat dingin menggosok pipi
lembutnya,, memainkan rambut yang keritingnya keemasan, lalu masuk ke sela sela
gaun pestanya. ia menghembuskan nafas perlahan, menggosok gosok kedua pipi nya
yang sudah lama memerah, hidung mancungnya mendengus berkali kali untuk mengeluarkan
hawa hangat.
“sepertinya
Juliana kecil kita tidak menyukai pesta ulang tahun yang sudah kita persiapkan
selama tiga bulan terakhir ini, istriku” kata seorang pria yang sedang meminum
anggur merah ditangan kirinya dan cerutu ditangan kanannya sambil menatap
istrinya dengan lembut, “jangan terlalu diambil hati, suamiku, hari ini dia
sudah berumur 18 tahun, ia bukan lagi gadis kecil yang suka duduk dipangkuanmu,
Juliana kita sudah dewasa, dia pasti sedang punya masalah yang lebih kompleks, yang
hanya bisa kita lakukan adalah harus selalu menyiapkan semua yang ia inginkan”
jawab seorang wanita yang mengenakan gaun pesta kuning keemasan sambil
menggerak gerakan kipasnya yang terbuat dari bulu angsa, “meskipun ia berumur
18 tahun, ia tetap Juliana kecilku” jawab pria yang bertahtakan ‘Raja’ itu,
“Juliana kita adalah gadis tercantik dikota ini, lihatlah semua dandanan teman
temannya, tak lebih dari boneka kerdil yang didandani, tapi Juliana kita
berbeda, dia selalu terlihat cantik, anggun, dan berkelas, itulah sebab semua
orang bisa langsung mengetahui kalau dia adalah anak raja”, “Juliana kita sudah
cukup umur untuk menikah” potong sang istri “tidakah kau menyadari itu, wahai
suamiku?” tanyanya, “tentu saja aku menyadarinya, aku selalu tahu apa yang dibutuhkan
oleh satu satunya putri kita, karena itulah malam ini aku mengundang laki laki
keturunan bangsawan dan pengeran dari kerajaan ternama, salah satu dari mereka
akan meneruskan generasi di istana ini dan menjadi raja berikutnya, ingat
istriku, kita harus memilihkan menantu yang cocok”.
“putri
Juliana, kau tampak cantik dan anggun sekali malam ini, tangan putihmu
sepertinya menginginkan gerakan, maukah kau berdansa denganku?” pinta seorang
lelaki sambil membungkuk perlahan kearah Juliana, ia keturunan bangsawan,
ayahnya pemilik perusahaan pembuat kapal terbesar dinegara ini. “mohon maaf dengan teramat
sangat, tuan, aku sedang tidak ada keinginan untuk berdansa, takutnya aku akan
melakukan kesalahan dan itu akan membuatmu malu, sebaiknya kau berdansa dengan
para gadis yang sudah memandangi mu dari tadi” jawab putri Juliana dengan suara
lembutnya sambil tersenyum, biasanya senyuman ini akan memikat para lelaki dan
mereka akan menuruti apa saja yang Juliana katakan, meskipun hanya dengan
senyum palsu, “oh, maafkan aku sudah mengusik lamunanmu yang berharga, putri,
aku akan menunggu disana kalau kalau kau mau berdansa denganku, permisi” lelaki
itu pergi setelah membungkuk.
Entah sudah
berapa kali Juliana menolak permintaan lelaki untuk berdansa, ia tidak peduli,
sekarang ia hanya menunggu seseorang dengan perasaan gugup, saat cahaya bulan menerang, engkau hanya
perlu duduk didekat jendela yang bersebrangan dengan pohon elm diruang pestamu,
tataplah kebawah terus menerus, aku janji akan datang saat kau memikirkanku,
wahai Juliana tercinta. Kata kata itu terus bergeming dan melewati
telinganya. Apakah malam ini ia akan datang? Apakah ia merindukanku seperti aku
merindukan dirinya? Selamatkah ia dalam perjalanan menuju kesini? Apa yang
harus kulakukan kalau malam ini ia tidak kunjung datang?, satu demi satu
pertanyaan memasuki pikiran Julia yang malang, sayangnya ia tidak dapat
menjawab semua pertanyaan itu.
“juliana, oh
juliana, aku tidak percaya kau masih menungguku, bisakah kau turun sekarang?
Ada banyak sekali cerita yang harus kuceritakan padamu, Juliana”. Terdengar
suara seorang lelaki yang berwibawa memanggil dari halaman istana ayah Juliana,
Wajah Juliana yang pucat sekarang berubah menjadi merah merona, senyum lebarnya
menandakan kebahagiaan dan rasa leganya, ia mengendap endap saat kedua orang
tuanya berbincang bincang dengan para lelaki oportunis, ia menuruni tangga
perlahan sambil memegangi gaunnya, bahkan pada saat terburu buru begitu pun, ia
masih tetap terlihat anggun.
Juliana
berjalan perlahan kearah kebun bunga mawarnya sambil mencari cari lelaki yang
diharapkannya itu, “juliana!” panggil seorang lelaki yang keluar dari balik
pohon elm, lelaki itu bertubuh tinggi, sedikit berisi, tidak terlalu kurus dan
tidak terlalu gendut, ia tersenyum , “kau tahu sudah berapa lama aku
menunggumu, Remi? Kupikir kau tidak akan datang” kata Juliana sambil menunduk
dan menunjukkan wajah masamnya. “maafkan aku ” kata Remi sambil berlutut dan
mengecup tangan Juliana dengan lembut, membuat wajah gadis yang baru berumur 18
tahun itu merah merona seperti bunga mawar yang baru mekar, “aku harus
menyiapkan berbagai hal untuk datang kesini” kata Remi sesaat setelah ia
berdiri, “berbagai hal?” tanya Juliana penasaran sambil menaikkan alis
coklatnya yang tebal, “ayo ikut aku” ajak Remi sambil menarik tangan julia,
julia berjalan dibelakang sambil mengangkat rok gaunnya yang panjang.
Remi dan
Juliana tiba didanau ‘takdir’ dihalaman istana keluarga Juliana. “kau lihat
itu?” tanya Remi, “perahu? Kau membuatkanku perahu?” tanya Juliana yang
penasaran melihat sebuah perahu kecil yang dicat berwarna kuning keemasan,
dihiasi lentera lentara kecil, namun ada suatu benda di dalam perahu itu, kotak
kayu berukuran sedang yang tertutup, Juliana pergi melihatnya, Remi mengikuti.
“apa ini?” tanya Juliana, “kau akan segera tahu” jawab Remi, “sekarang naiklah
keperahu., kemudian mereka berdua menaikki perahu itu dan Remi mendayung sampai
ke bagian tengah danau ‘Takdir’.
“kau membuatkan perahu ini
untukku, Remi? Jadi inikah alasan keterlambatan mu?”
“mohon maaf dengan teramat
sangat, putri, sepertinya iya, kemarin malam aku membuatnya sendirian , aku
harus menyiapkan kereta kuda berukuran besar agar bisa diisi dengan perahu ini,
kuharap ayahku tidak tahu kalau aku mengambil satu kereta miliknya, aku menyeret
perahu ini ketepian agar kita siap menggunakannya, semua ini kulakukan demi
dirimu Juliana, selamat ulang tahun yang ke 18, putriku sayang, aku tidak akan
lupa saat kau berkata padaku bahwa engkau ingin mendayung perahu bersamaku
didanau ini, danau takdir, kau bilang bahwa jika ada sepasang kekasih yang
mendayung perahu didanau ini selama 1 jam penuh, maka mereka akan menjadi satu
selamanya, benar kan putriku? ” jelas Remi, tangannya yang kekar masih berusaha
mendayung, “oh, aku sangat senang mendengar semua usahamu itu, Remi” seru
Juliana dengan pipi merah merona, “lalu, apa isi kotak kayu ini?” tanya Juliana
yang tidak dapat menyembunyikan ekspresinya yang penasaran, “ini kembang api,
aku meminta pamanku yang tukang pedagang kembang api membuatkannya khusus
untukku, aku yakin kau sangat menyukainya,”.
“kau mau menghidupkan kembang api
ditengah halaman yang sepi begini? Oh, kumohon jangan” kata Juliana dengan nada
cemas dan mencoba menjelaskan, “semua orang diistana akan mengetahuinya dan
mereka akan menemukan kita, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahku
padamu kali ini, Remi”.
“tidak apa apa Juliana, aku sudah
siap untuk itu, kita tidak bisa terus terusan bersembunyi begini, aku ingin
terus terang kepada ayahmu, aku tidak tahu apa alasan ayahmu tidak menyukaiku,
tapi semua akan kulakukan jika itu demi dirimu, putri Juliana”. Kata Remi
dengan nada yang lembut namun berwibawa, kilatan tajam dimatanya seolah bisa
menembus hati Julia yang sedang gundah gulana, ia menatap Remi, dan berkata
“aku ragu akan itu, Remi, kau belum tahu mengenai ayahku, mungkin kali ini kau
akan benar benar disakiti, ayahmu pasti tidak akan terima dan ini bisa jadi
pemicu perang antar negeri kita, aku tidak mau itu terjadi, bila saatnya tepat
aku pasti akan bilang pada ayahku mengenai kecintaanku padamu, aku mohon,
tunggulah sampai saat itu tiba” jawab Juliana sambil memegang kedua pipi Remi
yang dingin dan tersenyum menenangkan.
Tiba
tiba terdengar suara gemuruh dan kegaduhan dari arah halaman depan istana, terdengar
dua tembakan, tiga tembakan, sampai lima tembakan meriam raksasa. Api merah
besar menyala berkobar seolah hendak melahap semua yang bisa dilihatnya, api
tersebut menjalar dari arah dinding bagian bawah depan sampai kehalaman samping
istana keluarga Julia, terdengar kumpulan tembakan yang kedua, kini menyerang
menara raja dan Juliana,terdengar jelas teriakan teriakan melolong dan rintihan
orang orang yang berada didalam istana, lonceng peringatan berdentang 10 kali,
ini menandakan situasi yang teramat darurat. kesunyian malam, hembusan angin
yang menenangkan dan kerlap kerlip bintang kejora tidak dapat dinikmati kembali
setelah semua tragedi mengerikan ini. Teriakan julia seolah memecah kengerian
semua itu. “a... apa yang terjadi? Serangan? Ada serangan mendadak dari arah
halaman depan!” teriak Julia, ia hendak meloncat dari perahu, “tunggu! Apa yang
kau lakukan? Kau bisa mati beku jika berenang didanau ini!” tahan Remi sambil
menarik tangan Julia yang gemetar, “sudah tidak ada waktu untuk mendayung ketepian,
Remi!” potong Juliana “ayahku, ibuku dan semua orang disana sedang dalam bahaya!
Aku tidak bisa berdiam diri disini!” pekik Julia, air matanya seolah berbicara
mengenai kecemasannya itu, bibirnya bergetar hebat saat melihat kobaran api
yang semakin membesar sudah melahap seperempat istana terbesar dinegeri itu. Remi
yang ikut panik juga tidak dapat menghentikan perbuatan Julia yang hendak
meloncat dari perahu, “oke, begini saja” kata Remi yang mencoba tenang “aku dan
kau akan terjun dari perahu sampai ketepian, tapi kau harus berpegangan erat
denganku, jangan sekali kali kau melepaskan tanganmu, sepanik apapun dirimu”
kata Remi, Julia mengangguk setuju.
Julia
dan Remi meloncat berdua dan masuk kedanau, rambut Julia yang keriting keemasan
kini menjadi lepek dan tidak berkilau lagi, gaun pestanya yang seharga dengan
segudang emas dibiarkannya basah dan kotor terkena air danau, mahkota emasnya
yang berkilau karena berlian dan tiara tiara kecil digenggamnya dengan erat
karena sudah tiga kali hampir terjatuh, begitu juga dengan Remi, rambut
coklatnya yang tebal kini terlihat seperti rumput laut yang menggupal, berbeda
dengan Julia, Remi menggigit mahkota kepangeranannya dengan giginya yang kuat
dan berwarna putih karena kedua tangannya memegangi kaki Julia yang
digendongnya dibelakang, pasangan putri dan pangeran ini sudah tidak
memperdulikan penampilan mereka lagi, yang dipikirkan Julia hanya satu, yaitu
menyelamatkan kedua orang tuanya dan para pelayan istananya, ia berpikir “aku
putri disini, dan aku akan melakukan apapun untuk melindungi rakyatku”, dan
dipikiran Remi hanya satu, yaitu menyelamatkan Julia, ia akan melakukan apapun
demi putri tercintanya yang cantik itu. Belum sampai mereka ke tepian, kaki
Julia dan Remi sudah seperti membeku, mereka tidak tahan dengan dinginnya danau
malam itu, nafas mereka terengah engah dan tubuh mereka gemetar, sedangkan
kobaran api dengan cepat melahap istana dan halamannya, wajah Julia kini
menjadi pucat pasi, matanya berkunang kunang dan kepalanya mulai sakit, Remi tidak
akan diam saja melihat putrinya mengalami hal demikian meskipun keadaannya tak
jauh beda dengan Julia, Remi bergegas menarik tangan Julia dan mempercepat
gerakan renangnya, alhasil sekita 15 menit kemudian, mereka sampai ketepian,
mereka berdua terbatu batuk dan memuntahkan air dari dalam tenggorokan mereka.
Danau takdir memang mempunyai sihir yang amat mendalam didalamnya, ia akan
membuat sepasang kekasih yang berduaan disana dalam kurun waktu satu jam
menjadi satu selamanya. Sayang, Remi dan Julia hanya 50 menit berada didanau
itu, sepasang kekasih yang berada disana dalam kurun waktu kurang dari satu jam
tak akan bisa menyatu selamanya, namun apakah itu hanya mitos atau fakta? Yang
hanya bisa anda lakukan adalah tetap diam dan membaca kisah ini sampai akhir.
“semua
orang sudah diungsikan kedalam ruang darurat kan!? Apa masih ada yang tinggal?
Cepat katakan padaku!?” teriak komandan pasukan berkuda satu yang dari tadi
sibuk mengungsikan orang orang, “cepat! Bawa orang orang yang terluka kedalam
kereta! Beri perawatan seadanya dan antar kerumah sakit melalui saluran air
bawah tanah!” pekik ia berkali kali, sosoknya yang berkumis dan beralis tebal
dengan pedang panjang berwarna perak ditangannya. Aku tidak tahu apa
keinginannya menyelamatkan orang orang sambil memegang pedang, mungkin dia
hanya terbiasa. “tunggu, putri? Dimana putri Juliana?” kata raja yang hendak
dibawa kedalam kereta kuda, padahal lukanya tidak terlalu parah, hanya gores
kecil ditangan kanannya, ada anak kecil yang kepalanya berdarah hebat namun
orang orang istana mendahulukan raja diobati terlebih dahulu, memang panggilan
‘raja’ bukan sekedar untuk main main. “ooh.. putriku? Apa ia masih didalam? Ia
bisa mati ditelan kobaran api” kata sang ratu dengan nada cemas, ia menjerit
dua kali setelahnya dan hampir pingsan, “tenang yang mulia, aku akan segera
masuk kedalam dan menyelamatkan putri” kata komandan itu dengan cepat. “tunggu!”
terdengar teriakan dari seorang gadis yang baru berumur 18 tahun “jangan panik,
aku ada disini”, putri Juliana keluar dari belakang semak semak, dengan
penampilan yang serba basah dan kotor ia tersenyum dengan percaya diri,
meskipun kecantikannya tidak luntur, orang orang yang melihat penampilan putri yang
basah kuyup itu tetap terkaget kaget. “sungguh penampilan yang menjijikkan
Julia, apa yang kau lakukan sehingga menjadi begitu kotor? Seorang putri tidak
boleh berpenampilan begitu didepan rakyatnya” pekik sang ratu, ia tidak malu
sama sekali memarahi anak tunggalnya didepan semua orang. “sudahlah istriku,
yang penting ia selamat” kata raja yang turun dari kereta, “seseorang cepat
gantikan gaun putri dan suruh dia menunggu dikereta dengan penjagaan super
ketat, aku tidak mau ia mengkhawatirkan semua orang”
“aku tidak mau! Aku tidak mau
pergi dari sini sebelum aku dapat penjelasan ayah, siapa yang menyerang istana
kita?” tanya Julia dengan nada cemas.
“pasukan dari negeri sebelah,
putriku, aku tidak tahu apa yang membuat mereka menyerang istana kita, tapi
mereka sudah dipukul mundur oleh pasukan berkuda terbaik kita” jawab raja
“sekarang masuklah kekereta, ganti gaunmu itu”
“tapi... ada..” mulut julia
tertahan saat ingin mengatakan mengenai remi yang masih menunggu dan
bersembunyi dibalik semak semak sambil memperhatikannya. Tunggu dulu, ayah
bilang yang menyerang istana mereka adalah tentara pasukan dari negeri
seberang, apakah yang dimaksud adalah negeri tempat asal kekasihnya itu?
“ayah, apakah pasukan yang
menyerang itu berasal dari negeri timur?” Julia berharap ayahnya berkata
‘bukan’.
“benar putriku” jawab ayahnya “aku
tidak tahu apa yang membuat mereka begitu membenci negeri kita ini, mereka
sudah bermusuhan dengan kita selama berabad abad, tinggal menunggu waktu sampai
peperangan dimulai”. Satu satunya jantung putri julia berdetak hebat, ternyata
saat ia dan pengeran dari negeri seberang itu berduaan didanau ‘takdir’, bala
tentara dari negeri masing masing saling menyerang, sungguh kenyataan yang
sangat menyakitkan menusuk nusuki pikirannya, ia sadar kalau ia tidak bisa
menyatu dengan Remi, sekeras apapun usaha mereka berdua, Julia mengutuk dirinya
sendiri yang seorang putri kelahiran istana negeri sebelah barat, andai saja
Remi bukan orang timur dan ia bukan orang barat, andai saja ia bukan seorang
putri, melainkan rakyat biasa, ia pasti sudah menikah dengan Remi dan hidup
bahagia, namun kehidupan tidak selalu indah seperti didalam benak manusia.
Julia
masuk kedalam kereta diikuti para pelayan wanita yang sudah memegang gaun
sutra, pakaian dalam, dan handuk, dan beberapa penata rambut juga turut masuk
kedalam kereta itu. Julia bisa melihat keadaan istana tempat ia dibesarkan itu
dari balik jendela keretanya, seperempat bagian dinding istana yang semula
dicat dengan warna kuning emas dan biru langit kini menjadi hitam legam,
untunglah orang orang istana banyak berkumpul diruang pesta, jadi mudah bagi
mereka untuk menyelamatkan diri, mengingat ruangan pesta terletak dibagian yang
jauh dari jangkauan api. Juliana tidak percaya bahwa semua kekacauan ini adalah
ulah ayah kekasihnya sendiri, tunggu dulu, ia lupa akan kekasihnya yang
menunggu disemak semak, apa Remi baik baik saja? Banyak sekali yang ingin ia
utarakan kepada kekasihnya itu, namun ayahnya pasti tidak akan ijinkan putrinya
keluar dari kereta sebelum selesai didandani, dan butuh waktu dua jam untuk
mendandani putri, dalam kurun waktu yang cukup lama itu, sudah pasti membuat
Remi jengah dan pulang ke negerinya lagi.
Tiba
tiba Juliana tersadar bahwa Remi memperhatikannya dari balik pohon pinus
didepan istana, dengan kaget dan bahagia Juliana tersenyum kearah Remi, tidak
satupun dari para pelayan menyadari ulah mereka berdua ini karena mereka sedang
sibuk menata rambut Juliana yang sekarang keras karena air danau. Remi
menggerakkan tangannya dan berbicara bahasa isyarat ala keluarga kerajaan, bisa
dibilang begini percakapan mereka. “bisakah kita bertemu? Besok atau lusa?”
jari jari Remi terampil memainkan bahasa isyaratnya, dan Juliana menjawab “aku
tidak tahu, ayahku pasti akan mengurungku selama beberapa hari”
“aku akan mendatangimu setiap
hari dan melihatmu meski hanya dari balik jendela, sampai jumpa putriku yang
cantik”. Tak lama kemudian, Remi pun bergegas pergi, tanpa tahu kalau
penyerangan ini didalangi oleh ayahnya sendiri, namun tragedi yang sangat
mengerikan yang tidak bisa diterka oleh semua orang yang terlibat, terjadi
setelah ini.
Sesuai
perkiraan Juliana, ia dikurung didalam kamarnya yang terletak dimenara istana,
tak ada yang bisa ia lakukan selain membaca buku dan bermain kecapi, tangan
Juliana yang ramping terlihat sangat anggun dengan musiknya yang menentramkan
jiwa raga.
“Juliana, tak ada musik yang
melebihi kemerduan yang dimainkan oleh tanganmu yang gemulai itu!” terdengar
suara laki laki yang sudah lama ia kenal memanggilnya dengan suaranya yang
penih wibawa, itu adalah suara Remi. Juliana tersontak kaget, dan berlari
kearah balkon, benar dugaannya, Remi sudah menunggu dibawah dengan
menyunggingkan senyumnya yang dapat membuat wanita meleleh.
“bisakah aku menemuimu? Wajahmu
tampak sangat kecil dari sini, putriku” kata Remi dengan meletakkan tangan
diatas alis tebalnya.
“ssstt.. jangan keras keras”
bisik putri sambil menempelkan jari didepan bibirnya “aku akan mengambilkanmu
tali, jadi tunggulah”. Sesaat kemudian Julia keluar menuju balkon sambil
menurunkan tali kearah Remi dan ia mengikat sumbunya di tiang beranda balkonnya.
Remi menangkap tali tersebut dengan lincah dan mulai memanjat menuju balkon
Julia dengan sangat hati hati. Untunglah para tentara hanya berjaga di depan
pintu kamar Julia dan tidak ada seorang pun yang berjaga disekitar balkon.
“bagaiman caranya kau bisa tahu
kalau aku berada disini?” tanya Julia kepada Remi yang baru saja menjejakkan
kaki dibalkonnya.
“semua putri biasanya dikurung
didalam menara, dan ini menara yang paling tinggi, dan lagi aku bisa mendengar
suara merdu kecapimu dari bawah sana” kata Remi sambil menggulung kembali tali
yang diapakainya itu.
“emm.. Remi, apa kau sudah tahu
kalau yang menyerang istana keluargaku kemarin adalah pasukan dari negerimu?”
tanya Julia dengan gemetar, Remi tersontak kaget mendengarnya dan memegang
pundak Julia, matanya berkaca kaca dan ia mulai berkata “benarkah? Benarkah itu
Julia?”, julia hanya mengangguk pelan, membuat Remi semakin terjerumus kedalam
rasa bersalahnya. “jadi, ayahku yang membuat semua ini? Ia hampir membunuh
semua orang orang istana termasuk kekasihku sendiri, apa yang ada dibenak
ayahku itu?”. Juliana menunduk dan menenangkan diri, ia menarik nafas dalam
dalam dan berkata, “itu wajar kan? Negeri kita sudah lama bermusuhan dan
tinggal menunggu waktu hingga perang sesungguhnya terjadi”, Remi hanya diam,
Julia melanjutkan kata katanya “sudah tidak ada lagi yang bisa kita berdua
lakukan, kita tidak bisa merubah apa apa, bagaimana kalau kita akhiri saja
hubungan kita ini, Remi?” tanya Julia yang menahan air matanya. “apa?” tanya
Remi “apa yang barusan kau ucapkan?”
“hubungan kita hanya akan membawa
bencana, semakin dalam perasaan kita berdua, semakin banyak orang yang akan
terluka, ini demi keselamatan keluarga kita, Remi, kau juga tidak ingin ayah
dan ibumu celaka, kan, ini yang terbaik untuk kita, aku ingin kita bahagia,
tidak dalam keadaan yang terbebani begini” kata Julia, kini air mata sudah
mencapai kehernya yang jenjang. Perkataan Julia membuat remi sangat terkejut,
rasa sedih, bingung dan marah berkecamuk dalam dadanya, namun sebagai laki
laki, ia harus kuat. Remi duduk disebelah Julia menatap wajahnya lekat lekat
dan menyibakkan rambutnya yang keriting. “Julia, apa yang kau katakan mungkin
benar, namun apakah air matamu adalah kebahagiaan? Dari awal kau sudah
menyadari bahwa kau tidak akan bahagia jika tidak bersamaku, begitu pula aku,
maka dari itu, kumohon putri, berikan aku kesempatan untuk tetap menjadikanmu
milikku, akan kulakukan apa saja demi melindungimu” kedua jempol tangan Remi
menghapus air mata Julia, lalu ia memegang kedua pipi Julia yang merah dengan
lembut mendekatkan jarak dengan perlahan, dan mulai mencium bibir Julia yang
lembut dan merah dengan perlahan, Julia hanya menahan nafas pelan saat remi
melakukann itu padanya untuk yang pertama kali, setelah melakukan itu, remi
tersenyum hangat dan berkata “aku akan mulai berbicara dengan ayahku mengenai
hubungan kita, kuharap ia bisa mengerti” setelah berkata begitu, Remi turun
dengan menggunakan tali perlahan, Julia hanya tersenyum saat melihat kelakuan
Remi yang terburu buru itu, saat melihat wajah Remi yang memerah, ia akhirnya
mengerti.